Selamat Datang Di Blog Pribadi Iskandar Daulima, S.H

My New Life

My New Life

Minggu, 24 April 2016

Aksi Radikalitas Massa Terhadap Penasihat Hukum

Disuatu negara hukum (rechtstaat) seperti Indonesia ini seharusnya dan idealnya, perilaku warga atau anggota masyarakat adalah sejalan dengan peraturan dan perundang-undangan. Seseorang atau kelompok sosial wajib membangun dan mengapresiasikan perilakunya sesuai dengan perintah yang dirumuskan oleh hukum. Tanpa diperintahkan oleh hukum untuk melakukan sesuatu perbuatan, maka suatu perbuatan yang berlawanan dengannya tidak boleh terjadi.
Persoalannya, mengapa masih ada saja seseorang dan kelompok-kelompok sosial yang nekat melakukan suatu perbuatan yang berseberangan dengan hukum, tidakkah merasa takut dengan sanksi hukum yang akan menjeratnya dan mempertanggungjawabkannya?

Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara tentram, damai, tetapi dapat terjadi juga pelanggaran terhadap hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum menjadi kenyataan. Dalam penegakan hukum, ada tiga unsur yang selalu diperhatikan, yaitu kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit) (Sudikno Mertokusumo, 1991)

Pendapat Sudikno itu relevan dengan yang disampaikan oleh Sodiki, "senafas dengan ciri negara Indonesia yang hendak diwujudkan tersebut (alinea ke-2 pada pembukaan Undang-undang Dasar 1945 mengenai negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur), maka tidak bisa lain, bahwa cita-cita hukum (rechstsides) yang hendak direalisasikan ialah hukum yang memancarkan kemerdekaan, persatuan, kedaulatan, keadilan dan kemakmuran" (13, Januari 1996)

Fungsi hukum tersebut menunjuk pada suatu idealita tentang terproteksinya kepentingan masusia. Idealita ini akan terwujud ditangan penyelenggara profesi hukum, pelaksanaan hukum ini menjadi "manusia agung" yang mendapatkan tugas untuk mengartikulasikan hak-hak dasar manusia.

Salah seorang penyelenggara profesi hukum yang diberi mandat dan amanat untuk mewujudkan kepastian hukum, mampu menunjukan dimensi kemaknfaatan hukum dan orientasi keadilannya adalah penasihat hukum. Manajemen hukum akan berjalan sesuai dengan kaedah-kadah menerjal yuridis bilamana penasihat hukum turut memainkan peran secara aktif, profesional dan bermoral tinggi.

Dalam pelaksanaan hukum yang menurut terwujudnya idealita kepastian, kemanfaatan dan keadilan hukum itu, sebab penasihat hukum akan dihadapkan dengan beragam tantangan yang bisa jadi diantara tantangan itu ada yang menempatkannya sebagai sasaran protes radikalitas, baik secara idividual maupun masal.

Febomena yang menarik adalah radikalitas massa, yakni yang melibatkan sekelompok manusia yang melakukan unjuk kekerasan terhadap praktik penasihat hukum, yang secara langsung tak terkait dengan kasus yang ditangani oleh penasihat hukum maupun korban dari suatu tindakan kejahatan.

Sebagai misal, masyarakat mengamuk (menganiaya) penasihat hukum yang sedang menangani suatu kasus tindnak kejahatan yang berkualifikasi pemberatan. Masyarakat ini merupakan korban langsung dari tindak kejahatan itu, tetapi berada dalam kominitas terjadinya tindak kejahatan. Kausu aksi kekerasan massa (mulai dari penyanderaan sampai pemukulan) terhadap penasihat hukum ini pernah menimpa penasehat hukum yang sedang menangani "kasus acan", yakni kasus pencurian yang diikuti dengan perkosaan.

Dari kasus kekerasan massa terhadap penasihat hukum itu dapat dilacak berbagai faktor di seputar eksistensi penyelenggara profesi hukum sebagai berikut :

1. Opini Publik yang dibangaun oleh media massa, baik media cetak maupun media elektronik yang mengungkap kualitas modus operandi suatu tindak kejahatan, seperti modus pemerkosaan terhadap anak yang dilakukan oelh perampok di depan mata kedua orang tuanya secara psikologis akan mampu membangun emosi massa secara eksplosif (meledak-ledak) 

Dengan  berita kasus yang dibaca da dilihat oleh massa secara langsung, lebih-lebih yang menyuratkan praktik sadistis, akan mendorong masyrakat intuk segera melakukan responsi dan reaksi. Dengan kondisi ini, tersangka atau terdakwa yang berhasil ditangkap oleh pihak berwajib dapat saja langsung divonis oleh massa sebagai orang yang bersalah atau menjadi pelaku atas kasus itu, setidak-tidaknya mengetahui kronologisnya.

Kasus sadistis ini dapat menjadi pendorong munculnya emosi massa yang terefleksi secara sadistis, manakala opini publik pun makin tidak menghargai atas "praduga tak bersalah" (presumtion of innocence)
 
Kata Mulyana W. Kusumah, "Media massa, cetak maupun elektronik terus menyiarkan proses penyidikan kasus serta ungkapan-ungkapan perasaan masyarakat  atas peristiwa pidana keji tersebut ( kasus Acan) selama berminggu-minggu, dan opini seakan-akan dimobilisasi secara eskalatif menuju suara tunggal  massa : hukum berat atau hukum mati para penjahat ini" (Republika, 19 September 1995)
 
2. Tingkat pemahaman masyarakat terhadap berfungsinya hukum yang belum mencapai tingkat optimal. Artinya, masyarakat belum paham betul bahwa penanganan suatu perkara hukum itu menuntut sikap kehati-hatian dari penegak hukum, disamping melalui tahap demi tahap sebagaimana yang diatur dalam peraturan atau perundang-undangan.
 
Proses penyelesaian perkara yang demikian itu merupakan ujian tersendiri bagi masyarakat pencari keadilan atau komunitas sosial yang ingin tahu akhir dari proses itu. Bagi masyarakat demikian, kalau tidak sabar dan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai sistem yuridis, maka terbuka peluang berbuat mengikuti emosinya. Apalagi jika dalam proses menunggu dan mengikuti perjalanan kasus itu, ada pihak-pihak  yang sengaja meluncurkan isu negatif yang bermodus merusak sistem kerja penyelenggara profesi hukum.

Pemahaman yang masih minim itu misalnya dalam mengartikan dan memposisikan penasihat hukum sebagai "pembela" orang-orang yang bersalah. Orang yang diduga sebagai pelaku kejahatan dinilainya memiliki posisi istimewa dan kuat karena mendapatkan "pembela" yang dimungkinkan akan dapat meringkankan hukuman yang akan menimpanya dan bahkan dapat membebaskannya dari jeratan hukum.
 
Dengan tindak kekerasan massa, masyarakat ini berharap bahwa penasihat hukum itu tak akan membela orang atau kelompok tertentu yang dinilainya pantas mendapatkan hukuman berat, kendati pengadilan belum menjatuhkan putusan atasnya.
 
3. Korelasi antara tindak kriminalitas dan kekerasan yang makin meningkat dari hari-kehari dengan dimensi urgensi penyelenggara profesi hukum (penasihat hukum) yang dinilai sudah mencapai anti klimak. Tindak kriminalitas yang berkembang marak ini dinilai terkait dengan belum berfungsinya penyelenggara profesi hukum secara optimal, bijak dan sesuai dengan kode etik profesinya. Ada oknum-oknum penyelenggara profesi hukum yang mentolerir munculnya faktor-faktor krimonogen , sehingga merangsang oknum-oknum sosial untuk memanfaatkannya lebih leluasa.

Berpijak pada kondisi tersebut, akhirnya masyarakat yang secara langsung merasakan penderitaan secara fisik, material maupun psikologis "lahan" tindak kejahatan mencoba untuk "membhasakan" perasan tidak puasnya dalam bentuk tindak kekerasan pada penasihat hukum.

4. Sikap dan cara kerja penasihat hukum yang belum menunjukan profesionalitasnya. Penampilan, gaya bertutur, intelektualitas, dan lebih-lebih interaksi sosialnya belum menampakan jati dirinya sebagai mitra kerja praktisi hukum lainnya dalam menemukan kebenaran material. Aksi kepengacaraan atau kepenasihatan yang ditunjuk oleh penasihat hukum yang terfokus pada "pemihakan mutlak" kepada tersangka / tedakwa dengan tujuan mendapatkan imbalan sejumlah uang semata dapat mengundang responsi dan aksi-aksi nyata masyarakat yang menjadi korban kejahatan atau masyarakat yang sudah merasa "muak" dengan aksi-aksi kejahatan yang sepertinya (menurut estimasinya) sulit terbendung.

5. Belum menyatunya kerjasama secara konstruktif antara tugas aparat yang wajib dengan penasihat hukum. Kinerja penasihat hukum masih sering dianggap kurang menguntungkan terhadap tugas -tugas penyidikan dari penyidik. Sikap penyidik demikian dapat berakibat kurang baik terhadap posisi penasihat hukum dalam hubungnnya dengan masyarakat (korban tindak kejahatan)

Kelima hal ini menjadi "pekerjaan rumah" bagi penasihat hukum untuk meningkatkan sosialitas fungsionalnya di tengah-tengah masyarakat. Apalagi kecenderungan maraknya tindak kejahatan dengan kekerasan dari hari ke hari makin beragam yang diikuti tindak perlawanan sosial terhadap tindak kejahatan itu. Kalau sampai masyarakat makin kuat asumsinya, bahwa penasihat hukum  itu aka menjadi "kekuatan pendukung" dan pelindung (pencari jalan keluar) bagi pelaku tindak kejahatan, maka perlawanan-perlawanan sosial bercorak kekerasan akan sulit dihindari lagi di tengah masyarakat.

Sumber : Etika Profesi Hukum dan Nuansa Tantangan Profesi Hukum Di Indonesia, Tarsito, Bandung, 1997,183-188









Tidak ada komentar: