Selamat Datang Di Blog Pribadi Iskandar Daulima, S.H

My New Life

My New Life

Sabtu, 16 Oktober 2010

Proposal Pengajuan S1 Hukum (Versi Indonesia )


TINJAUAN YURIDIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU TERHADAP KONSUMEN SUPERMARKET
Tinjauan Tentang Pasal 18 Ayat 1 Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Salah satu perkembangan hukum dalam bidang hukum perjanjian di Indonesia adalah perjanjian baku. Perjanjian baku merupakan suatu bentuk perjanjian yang berisikan hak dan kewajiban kedua belah pihak yang diwujudkan dalam bentuk tulisan yang sudah dibakukan.
Hampir semua hubungan hukum yang menyangkut barang dan jasa sudah dikuasai oleh bentuk perjanjian ini, seperti : perdagangan, pemborongan, perumahan, asuransi, perjalanan wisata dan perbankan. Dibidang perbankan bank sebagai pihak yang secara ekomomis kuat, biasanya menetapkan syarat-syarat baku secara sepihak tanpa lebih dahulu merundingkannya dengan pihak nasabah. Posisi nasabah yang lemah itu digunakan pihak bank untuk kesempatan untuk memperoleh keuntungan yang besar dari segi ekomoni, namun dari segi tanggung jawab pihak bank melakukan pembatasan tanggung jawab yang dikenal dengan klausula eksonerasi.
Sama halnya juga dengan yang terjadi di sektor perdagangan, meliputi proses jual beli yang terjadi antara konsumen supermarket, toko, ketika membeli sebuah produk dan mendapatkan barang yang cacat atau pun ada hal lain yang menyebabkan konsumen menginginkan bahwa barang tersebut ditukar atau dikembalikan maka serta merta supermarket atau toko tersebut tidak mau menerima komplain dari konsumen tersebut. Ternyata yang terjadi adalah, pada saat konsumen membayar barang yang dibelinya dari toko tersebut didapatinya bahwa struk tanda terima barang di bawahnya tertulis ”Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan”.Hal tersebut yang sangat banyak terjadi di Negara kita, khususnya di daerah Gorontalo.
Berdasarkan penelitian industrialisasi memberikan dampak yang nyata bagi meningkatnya pengunaan kontrak baku dalam berbagai transaksi ekonomi sebab seiring dengan proses industrialisasi meningkat pula berbagai produksi barang dan jasa yang ditawarkan kepada masyarakat.
Indonesia merupakan negara hukum, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 Amandemen Ke 3 Pasal 1 ayat (3) “Negara Indonesia adalah negara hukum” atau yang sering kita kenal dengan istilah “Rechtstaat”, untuk itu sudah sepantasnya segala permasalahan yang akan timbul di tengah masyarakat akan diselesaikan secara hukum pula.
Dilihat dari jumlah penduduk Indonesia, Indonesia memiliki sekiranya sekitar 200.000.000 (dua ratus juta) jiwa bukanlah hal yang kecil. Dari jumlah itu dapat dkatakan bahwa sebahagia besar dari mereka adalah konsumen yang “buta” akan hak-hak mereka. Yang sering dilanggar oleh para Produsen.
Penulisan proposal kali ini akan menitikberatkan kepada permasalahan yang sering dihadapi oleh masyarakat, mengingat banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap hak-hak konsumen. Penelitian dilapangan banyak ditemukan pelanggaran yang terjadi terutama yang menyangkut perlindungan hak-hak konsumen terhadap perjanjian baku.
Perjanjian baku atau yang yang lebih dikenal dengan klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan / atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Kenyataan yang terjadi dilapangan menurut penulis adalah terutama menyangkut masalah klsusula baku ini adalah pada poin 2 (dua) pasal 18 ayat 1 Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yakni “Pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen” namun yang terjadi sebenarnya, banyak took-toko, supermarket yang sengaja mencantumkan klausula baku tersebut di akhir struk pembelian seperti : “barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar/dikembalikan”’ padahal sebenarnya hal ini dilarang oleh Undang-Undang.
Masih kurangnya pemahaman dari masyarakat akan adanya Undang-Undang ini merupakan kendala tersendiri yang ditemukan dilapangan, banyak konsumen yang belum mengetahui hak-hak dan kewajibannya yang sebenarnya telah dilindungi oleh Undang-Undang. Jika saja konsumen mengerti posisinya sebagai konsumen dan mengetahui segala hak dan kewajibannya, maka sudah barang tentu pelaku usaha tidak lagi mencantumkannya.
1.2 Rumusan Masalah
Perlindungan konsumen merupakan suatu hal yang cukup baru didalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, meskipun mengenai perlunya peraturan perundang-undangan yang komprehensif bagi konsumen tersebut sudah digunakan sejak lama.
Ketidakberdayaan konsumen dalam menghadapi pelaku usaha ini jelas sangat merugikan kepentingan masyarakat. Pada umumnya pelaku usaha berlindung dibalik “standard Contract atau Perjanjian Baku”, yang nyatanya memberatkan konsumen
Dalam proposal ini saya akan membahas masaalah terkait dengan perlindungan konsumen, dan lebih memfokuskan tentang pelangaran pembuatan kalusula baku, khususnya pada kegiatan jual beli yang sering terjadi di supermarket ataupun pusat perbenlanjaan lainnya
Banyak konsumen yang tidak mengetahui secara langsung bahwa sebenarnya hak-haknya telah dilindungi oleh Undang-Undang. Akibat ketidaktahuan dari konsumen inilah sehingga membuka cela bagi pelaku usaha untuk seenaknya memperlakukan konsumen sesuka hatinya.
Melalui Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, maka diharapkan para pelaku usaha dan konsumen menyadari posisinya masing-masing tentang hak dan kewajiban yang satu sama lain saling berkaitan.
Masalah yang banyak berkembang ditengah-tengah masyarakat menurut pada saat ini adalah banyaknya ditemukan jenis pelanggaran terhadap pencantuman klausula baku yang sebenarnya telah dilarang oleh Undang-Undang. Pencantuman klausula baku tidak dilarang oleh Undang-Undang asalkan tidak ada unsure merugikan terhadap konsumen, seperti yang telah dijelaskan dalam Pasal 18 (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
Didalam Undang-undang tentang perlindungan konsumen ketentuan mengenai klausula baku ini diatur dalam bab V tentang ketentuan pencantuman klausula baku yang hanya terdiri dari satu pasal saja yaitu pasal 18.
Pasal 18 tersebut secara prinsip mengatur dua macam larangan yang diberlakukan bagi pelaku usaha yang membuat perjanjian baku dan/atau mencantumkan klausula baku dalam perjanjian yang dibuat olehnya. Dalam ketentuan pasal 18 ayat (1) dikatakan bahwa para pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian dimana klausula baku tersebut akan mengakibatkan :
1. Pengalihan tanggungjawab dari pelaku usaha kepada konsumen;
2. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
3. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
4. Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli secara angsuran;
5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen;
6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
7. Tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan atau lanjutan dan / atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya
8. Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
Dalam penulisan proposal ini saya sebagai penyusun akan mengangkat masalah mengenai perlindungan pencantuman klausula baku yang lebih spesifikasi terdapat pada Pasal 18 Ayat 1 point 2. Yang berbunyi “ pelaku usaha berhak menolak dan menyerahkan kembali barang yang sudah dibeli konsumen. Menurut hemat saya permasalahan yang satu ini sangat krusial ditengah perkembangan bisnis dan ekonomi dunia khususnya Indonesia.
Pencantuman klausula baku yang seperti saya maksudkan diatas masih banyak ditemukan didunia ekonomi bisnis, waralaba toko-toko, supermarket khusunya yang ada di Kota Gorontalo. Pencantuman klausula baku tersebut sudah nyata-nyata melanggar ketentuan pasa 18 ayat 1, namun masih saja banyak pengusaha / pelaku usaha yang belum mau menerapkannya.
Jika ditinjau dari segi yuridis maka, sebenarnya konsumen sangat diutamakan dalam hal ini, ketidak tahuaan konsumenlah yang membuat peluang bagi pengusaha / pelaku usaha untuk tetap menerapkan klausula baku seperti ini, yang nyata-nyata telah menyesatkan konsumen.
Konsumen dalam hal ini telah dilindungi oleh hukum dan konstitusi yang baik, dan sudah selayaknya kita sebagai orang-orang yang mengerti hukum agar mensosialisasikannya kepada masyarakat, mengingat masih banyak masyarakat yang belum mengetahui hak-hak dan kewajibannya sebagai konsumen.
1.3 Tujuan Dari Kegiatan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mendeskripsikan hak konsumen terhadap klausula baku yang diterapkan oleh pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 18 Ayat (1). Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
2. Untuk mendapatkan jalan keluar masaalah apa bila terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku usaha terkait dengan masaalah pencantuman klausula baku pada Pasal 18 Ayat 1. Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
3. Mencari unsus sosiologis dan historis dari masalah ini, mengapa pelaku usaha di Indonesia khususnya di Gorontalo masih tetap meberlakukan klausula baku ini.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan membarikan manfaat, diantaranya sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritik
a. Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya dibidang hukum perjanjian dan hukum perlindungan konsumen.
b. Memberikan bahan perbandingan dan atau menambah kepustakaan dalam bidang ilmu hukum pada umumnya dan hukum perlindungan konsumen pada khususnya
c. Memberikan gambaran dasar mengenai klausula baku dalam perjanjian pada umumnya, khususnya berkaitan dengan perlindungan konsumen
a. konsumen.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmuyang diperoleh
b. Hasil penelitian ini sebagai bahan pengetahuan dan wawasan bagi penulis, serta sebagai syarat untuk memenuhi tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana hukum Universitas Ichsan Gorontalo.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan serta tambahan pengetahuan bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah penelitian ini, dan berguna bagi pihak-pihak yang berminat pada masalah yang sama.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
A. Pengertian Perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 BW). Pengertian perjanjian ini mengandung unsur :
1. Perbuatan, Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;
2. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih, Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.
3. Mengikatkan dirinya, Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.
B. Syarat sahnya Perjanjian
Agar suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 BW yaitu :
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.
2. Cakap untuk membuat perikatan; Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 BW).
3. Suatu hal tertentu;Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.
4. suatu sebab atau causa yang halal. Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.
C. Azas - Azas Perjanjian
Di dalam kamus ilmiah asas diterjemahkan sebagai pokok, dasar, dan pundamen. Sedangkan Solly Lubis menyatakan asas adalah dasar kehidupan yang merupakan pengembangan nilai-nilai yang dimasyarakatkan menjadi landasan hubungan sesama anggota masyarakat. Adapun Paul Scholten memberikan definisi mengenai asas hukum ialah pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan dibelakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturanaturan perundang-undangan dan putusan-putusan hukum yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.
Dengan demikian maka, setiap peraturan perundang-undangan diperlukan adanya suatu asas, karena asas ini yang melandasi atau menjiwai ataupun menghidupi peraturan perundang-undangan dan dengan asas tersebut maksud dan tujuan peraturan menjadi jelas. Selanjutnya Sri Soemantri Martosuwignjo berpendapat bahwa asas mempunyai padanan kata dengan “beginsel” (Belanda) atau “principle” (Inggris) sebagai suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir. Asas hukum adalah dasar normatif untuk membedakan antara daya ikat normatif dan niscayaan yang memaksa.
Dengan demikian dalam melakukan perjanjian selain memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada harus juga memperhatikan asas-asas yang terdapat dalam hukum perjanjian pada umumnya dan Perjanjian Baku pada khususnya.
Adapun asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum perjanjian adalah sebagai berikut :
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Hukum benda menganut sistem tertutup, sedangkan Hukum Perjanjian menganut sistem terbuka. Artinya macam-macam hak atas benda adalah terbatas dan peraturan-peraturan yang mengenai hakhak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan Hukum Perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.
Asas kebebasan berkontrak ini mempunyai hubungan yang erat dengan asas konsensualisme dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam Pasal 1338 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ketentuan ini berbunyi :
“Semua Persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
“Semua” mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. Asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai Pasal 1320 KUH Perdata mempunyai kekuatan mengikat. Dengan demikian maka, kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam Hukum Perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia
2. Azas Konsensualisme
Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 1338 KUH Perdata. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata penyebutannya tegas sedang dalam Pasal 1338 KUH Perdata ditemukan dalam istilah “semua”. Kata -kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi ke semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasakannya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.
Adapun menurut A. Qirom Syamsudin, Asas konsesualisme mengandung arti bahwa dalam suatu perjanjian cukup ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian itu, tanpa dikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali perjanjian yang bersifat formal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, perjanjian itu sudah mengikat sejak tercapainya kata sepakat mengenai pokok perjanjian. Dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata ditentukan bahwa perjanjian atau kontrak tidaklah sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Dengan demikian dalam perjanjian antara ini plasma harus didasari kesepakatan untuk mengadakan kerjasama usaha.
3. Azas Itikad Baik
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1338 ayat (3) asas itikad baik ini diatur. Asas itikad baik ini sangat mendasar dan penting untuk diperhatikan terutama di dalam membuat perjanjian, maksud itikad baik disini adalah bertindak sebagai pribadi yang baik. Itikad baik dalam pengertian yang sangat subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseoraang, yaitu apa yang terletak padaa seseorang pada waktu diaadakan perbuatan hukum. sedangkn itikad baik dalam pengertian obyektif yaitu bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan yang paatut dalam masyarakat.
Kemudian menurut Munir Fuady, rumusan dari Pasal 1338 ayat (3) tersebut mengidentifikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Unsur itikad baik hanya diisyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada “pembuatan” suatu kontrak. Sebab unsur “itikad baik” dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup oleh unsure “kausa yang legal” dari Pasal 1320 ter sebut.
4. . Asas Kepercayaan (Vertrouwensbeginsel)
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.
4. Asas Pacta Sunservanda (Asas Kekuatan Mengikat)
Demikianlah seterusnya dapat ditarik kesimpulan di dalam perjanjiaan terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral. Demikianlah sehingga asas - asas moral, kepatutan dan kebiasaan yang mengikat para pihak.
Asas kekuatan mengikat atau asas facta sun servanda ini dapat diketahui di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa : “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Adapun maksud dari asas ini tidak lain untuk mendapatkan kepastian hukum bagi para pihak, maka sejak dipenuhinya syarat sahnya perjanjian sejak saat itu perjanjian mengikat para pihak seperti undang-undang.
2.1 Pengertian Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen adalah upaya yang terorganisir yang didalamnya terdapat unsur-unsur pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab untuk meningkatkan hak-hak konsumen. Pengertian lain mengenai perlindungan konsumen juga dapat kita lihat dibawah ini yakni :
A. Menurut Undang-undang
Menurut Undang-Undang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen : Pasal 1 butir 2“ Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
B. Menurut Hornby :
“Konsumen (consumer) adalah seseorang yang membeli barang atau menggunakan jasa; seseorang atau suatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu; sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang; setiap orang yang menggunakan barang atau jasa”.
Dalam undang-undang perlindungan konsumen dikatakan bahwa perlindungan konsumen adalah “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan hukum kepada konsumen”. Tujuan yang ingin dicapai dari perlindungan konsumen inii adalah :
1. untuk memberdayakan konsumen dalam memilih, menentukan barang dan/atau jasa kebutuhannya dan menuntut hak-haknya
2. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang memuat unsur kepastian hukum, keterbukaan informasi, dan akses untuk mendapatkan informasi
3. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab.
Kepastian hukum yang dijamin dalam perlindungan konsumen ini adalah segala proses pemenuhan kebutuhan konsumen yaitu sejak benih hidup dalam rahim ibu sampai dengan pemakaman, dan segala kebutuhan diantara kedua masa itu. Dalam hal ini pemberdayaan konsumen untuk memiliki kesadaran, kemampuan, dan kemandirian melindungi diri sendiri dari berbagai ekses negatif pemakaian, penggunaan, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa kebutuhannya. Pemberdayaan konsumen juga ditujukan agar konsumen memiliki daya tawar yang seimbang dengan pelaku usaha.
Konsumen sendiri dalam pengertian hukum perlindungan konsumen memiliki beberapa pengertian yaitu konsumen umum (pemakai, pengguna, pemanfaat barang dan/atau jasa untuk kebutuhan tertentu), konsumen antara (pemakai, pengguna, pemanfaat barang dan/atau jasa untuk memperdagangkannya, dengan tujuan komersial), dan konsumen akhir (pemakai, pengguna, pemanfaat barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri atau rumah tangganya dengan tujuan tidak untuk memperdagangkan kembali).
Konsumen dalam terminologi konsumen akhir inilah yang dilindungi dalam undang-undang perlindungan konsumen. Sedangkan konsumen antara adalah dipersamakan dengan pelaku usaha.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa; hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya.
Dalam penjelasan Undang-Undang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya, sebab perlindungan konsumen dapat mendorong iklim usaha sehat.
Hukum perlindungan konsumen merupakan salah satu bidang ilmu hukum. Kedudukannya cenderung bercorak cross sectoral . dalam science tree hukum berdasarkan data dari konsorsium ilmu hukum, hukum konsumen digabungkan dengan hukum persaingan dengan nama Antitrust dan Consumers Protection. Jadi hukum perlindungan konsumen hanya ranting kecil dari pohon hukum.
Bahwa inti pokok dari upaya perlindungan konsumen adalah“ pemberian jaminan bagi masyarakat agar didalam pemenuhan kebutuhan hidupnya yang diwujudkan pada perilaku konsumsinya dapat berjalan sesuai dengan norma dan tata caray ang baik dan benar.”
2.2 Pengertian Klausula Baku

1 komentar:

Anonim mengatakan...

sambungannya mana ya kak, lagi butuh artikel tentang ini
makasih sebelumnya