MUQADDIMAH
Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, Kesempurnaan milik Allah, dan segala kekurangan milik kami, Ya Allah.. Mohon ampun atas segala dosa-dosa kami, sesungguhnya Engkau yang Maha Kuasa.
1. PENDAHULUAN
Tentang hamil diluar nikah sendiri sudah kita ketahui sebagai perbuatan zina baik oleh pria yang menghamilinya maupun wanita yang hamil. Dan itu merupakan dosa besar. Persoalannya adalah bolehkah menikahkan wanita yang hamil karena zina? Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang secara ketat tidak memperbolehkan, ada pula yang menekankan pada penyelesaian masalah tanpa mengurangi kehati-hatian mereka. Sejalan dengan sikap para ulama itu, ketentuan hukum Islam menjaga batas-batas pergaulan masyarakat yang sopan dan memberikan ketenangan dan rasa aman. Patuh terhadap ketentuan hukum Islam, insya Allah akan mewujudkan kemaslahatan dalam masyarakat.
Dalam Impres No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI), Bab VIII Kawin Hamil sama dengan persoalan menikahkan wanita hamil. Pasal 53 dari BAB tersebut berisi tiga(3) ayat , yaitu :
1. Seorang wanita hamil di laur nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Persoalan menikahkan wanita hamil apabila dilihat dari KHI, penyelesaiaanya jelas dan sederhana cukup dengan satu pasal dan tiga ayat. Yang menikahi wanita hamil adalah pria yang menghamilinya, hal ini termasuk penangkalan terhadap terjadinya pergaulan bebas, juga dalam pertunangan.
Asas pembolehan pernikahan wanita hamil ini dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepastian hukum kepada anak yang ada dalam kandungan, dan logikanya untuk mengakhiri status anak zina.
Dalam kasus wanita hamil yang akan menikah dengan laki-laki lain yang tidak menghamilinya, ada dua pendapat yaitu : pertama, harus menunggu sampai kelahiran anak yang dikandung wanita tersebut. Dan status anak yang dilahirkan kelak, dapat dianggap sebagai anak laki-laki yang mengawini wanita tersebut dengan kesepakatan kedua belah pihak. Kedua, siapapun pria yang mengawini dianggap benar sebagai pria yang menghamili, kecuali wanita tersebut menyanggahnya.
Ini pendapat ulama Hanafi yang menyatakan bahwa menetapkan adanya nasab (keturunan) terhadap seorang anak adalah lebih baik dibanding dengan menganggap seorang anak tanpa keturunan alias anak haram. Perkawinan dalam kasus ini dapat dilangsungkan tanpa menunggu kelahiran bayi, dan anak yang dikandung dianggap mempunyai hubungan darah dan hukum yang sah dengan pria yang mengawini wanita tersebut. Di sinilah letak kompromistis antara hukum Islam dan hukum adat dengan menimbang pada kemaslahatan, aspek sosiologis dan psikologis. Sebagai akhir dari penjelasan ini adalah pembolehan Jumhur ulama berdasar pada hadis 'Aisyah dari Ath-Thobary dan ad-Daruquthny, sesungguhnya Rasulullah SAW ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan dan ia mau mengawininya. Beliau berkata:"Awalnya zina akhirnya nikah, dan yang haram itu tidak mengharamkan yang halal."Sahabat yang mebolehkan nikah wanita berzina adalah Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas yang disebut madzab Jumhur. (Ali Assobuny/I/hlm49-50).
2. MENIKAHI WANITA HAMIL
Untuk menghindari aib maksiat hamil di luar nikah, terkadang masyarakat kita justru sering menutupinya dengan maksiat lagi yang berlipat-lipat dan berkepanjangan yang semuanya itu karena kurangnya pemahaman ajaran Islam di dalam setiap keluarga di Indonesia). Bila seorang laki-laki menghamili wanita, dia menikahinya dalam keadaan si wanita sedang hamil atau meminjam orang untuk menikahi-nya dengan dalih untuk menutupi aib, nah apakah pernikahan yang mereka lakukan itu sah dan apakah anak yang mereka akui itu anak sah atau dia itu tidak memiliki ayah ?
A. Status Pernihakan
Wanita yang hamil karena perbuatan zina tidak boleh dinikahkan, baik dengan laki-laki yang menghamilinya atau pun dengan laki-laki lain kecuali bila memenuhi dua syarat.
1. Dia dan si laki-laki taubat dari perbuatan zinanya. Hal ini dikarenakan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan menikah dengan wanita atau laki-laki yang berzina, Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini, kecuali perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik dan perempuan yang berzina tidak dikawini, melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik dan yang demikian itu, diharamkan atas orang-orang yang mu?min.” (QS: An Nur : 3.)
Syaikh Al-Utsaimin berkata, “Kita mengambil dari ayat ini satu hukum yaitu haramnya menikahi wanita yang berzina dan haramnya menikahkan laki-laki yang berzina, dengan arti, bahwa seseorang tidak boleh menikahi wanita itu dan si laki-laki itu tidak boleh bagi seseorang (wali) menikahkannya kepada putri-nya.” Bila seseorang telah mengetahui, bahwa pernikahan ini haram dilakukan namun dia memaksakan dan melanggarnya, maka pernikahannya tidak sah dan bila melakukan hubungan, maka hubungan itu adalah perzinahan. Bila terjadi kehamilan, maka si anak tidak dinasabkan kepada laki-laki itu atau dengan kata lain, anak itu tidak memiliki bapak. Orang yang menghalalkan pernikahan semacam ini, padahal dia tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkannya, maka dia dihukumi sebagai orang musyrik.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan (sekutu) selain Allah yang mensyari?atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah” (QS: Asy Syruraa : 21) Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan orang-orang yang membuat syari’at bagi hamba-hamba-Nya sebagai sekutu, berarti orang yang menghalalkan nikah dengan wanita pezina sebelum taubat adalah orang musyrik. Namun, bila sudah bertaubat, maka halal menikahinya, tentunya bila syarat ke dua berikut terpenuhi.
2. Dia harus beristibra (menunggu kosongnya rahim) dengan satu kali haidl, bila tidak hamil, dan bila ternyata hamil, maka sampai melahir-kan kandungannya. Rasulullah bersabda: “Tidak boleh digauli (budak) yang sedang hamil, sampai ia melahir-kan dan (tidak boleh digauli) yang tidak hamil, sampai dia beristibra? dengan satu kali haid. “ (Lihat Mukhtashar Ma\’alimis Sunan 3/74, Kitab Nikah, Bab : Menggauli Tawanan (yang dijadikan budak), Al Mundziriy berkata : Di Dalam isnadnya ada Syuraik Al Qadliy, dan Al Arnauth menukil dari Al Hafidz Ibnu Hajar dalam At Talkhish : Bahwa isnadnya hasan, dan dishahihkan oleh Al Hakim sesuai syarat Muslim. Dan hadits ini banyak jalurnya sehingga dengan semua jalan-jalannya menjadi kuat dan shahih.(Lihat Taisir Fiqhi catatan kakinya 2/851.)
Di dalam hadits di atas, Rasulullah melarang menggauli budak dari tawanan perang yang sedang hamil sampai melahirkan dan yang tidak hamil ditunggu satu kali haidl, padahal budak itu sudah menjadi miliknya. Juga sabdanya: Artinya, “Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dia menuangkan air (maninya) pada semaian orang lain.” (Abu Dawud, lihat, Artinya: ‘alimus Sunan 3/75-76.) Mungkin sebagian orang mengatakan, bahwa yang dirahim itu adalah anak yang terbentuk dari air mani si laki-laki yang menzinainya yang hendak menikahinya. Jawabnya adalah apa yang dikatakan oleh Al Imam Muhammad Ibnu Ibrahim Al Asyaikh , “Tidak boleh menikahi-nya sampai dia taubat dan selesai dari ?iddahnya dengan melahirkan kandung-annya, karena perbedaan dua air (mani), najis dan suci, baik dan buruk dan karena bedanya status menggauli dari sisi halal dan haram.” Ulama-ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah menga-takan, ?Dan bila dia (laki-laki yang menzinainya setelah dia taubat) ingin menikahinya, maka dia wajib menung-gu wanita itu beristibra? dengan satu kali haidl sebelum melangsungkan akad nikah dan bila ternyata dia hamil, maka tidak boleh melangsungkan akad nikah dengannya, kecuali setelah dia melahirkan kandungannya, berdasar-kan hadits Nabi yang melarang seseorang menuangkan air (maninya) di persemaian orang lain.
Bila seseorang nekad menikahkan putrinya yang telah berzina tanpa beristibra terlebih dahulu, sedangkan dia tahu bahwa pernikahan itu tidak boleh dan si laki-laki serta si wanita juga mengetahui bahwa itu adalah haram, maka pernikahannya itu tidak sah. Bila keduanya melakukan hubungan badan maka itu adalah zina. Dia harus taubat dan pernikahannya harus diulangi, bila telah selesai istibra? dengan satu kali haidh dari hubungan badan yang terakhir atau setelah melahirkan.
B. Status Anak Hasil Hubungan di Luar Nikah
Semua madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Malikiy, Syafi’i dan Hambali) telah sepakat bahwa anak hasil zina itu tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki, dalam arti dia itu tidak memiliki bapak, meskipun si laki-laki yang menzinahinya dan yang menaburkan benih itu mengaku bahwa dia itu anaknya.
Pengakuan ini tidak dianggap, karena anak tersebut hasil hubungan di luar nikah. Di dalam hal ini, sama saja baik si wanita yang dizinai itu bersuami atau pun tidak bersuami. Jadi anak itu tidak berbapak.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam yang artinya:
“Anak itu bagi (pemilik) firasy dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan). Firasy adalah tempat tidur dan di sini maksudnya adalah si istri yang pernah digauli suaminya atau budak wanita yang telah digauli tuannya, keduanya dinamakan firasy karena si suami atau si tuan menggaulinya atau tidur bersamanya. Sedangkan makna hadits tersebut yakni anak itu dinasabkan kepada pemilik firasy.
Namun karena si pezina itu bukan suami maka anaknya tidak dinasabkan kepadanya dan dia hanya mendapatkan kekecewaan dan penyesalan saja. Dikatakan di dalam kitab Al-Mabsuth, seorang laki-laki mengaku berzina dengan seorang wanita merdeka dan (dia mengakui) bahwa anak ini anak dari hasil zina dan si wanita membenarkannya, maka nasab (si anak itu) tidak terkait dengannya, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi Wa sallam : Artinya anak itu bagi pemilik firasy, dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah menjadikan kerugian dan penyesalan bagi si laki-laki pezina, yaitu maksudnya tidak ada hak nasab bagi si laki-laki pezina, sedangkan penafian (peniadaan) nasab itu adalah murni hak Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ibnu Abdil Barr berkata, Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, “Dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan). Maka beliau menafikan (meniadakan) adanya nasab anak zina di dalam Islam.
Oleh karena itu anak hasil zina itu tidak dinasabkan kepada laki-laki yang berzina maka: anak itu tidak berbapak. Anak itu tidak saling mewarisi dengan laki-laki itu. Bila anak itu perempuan dan di kala dewasa ingin menikah, maka walinya adalah wali hakim, karena dia itu tidak memiliki wali.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, Artinya: Maka sulthan (pihak yang berwenang) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali. Satu masalah lagi yaitu bila si wanita yang dizinahi itu dinikahi sebelum beristibra? dengan satu kali haidh, lalu digauli dan hamil terus melahirkan anak, atau dinikahi sewaktu hamil, kemudian setelah anak hasil perzinahan itu lahir, wanita itu hamil lagi dari pernikahan yang telah dijelaskan di muka bahwa pernikahan ini adalah haram atau tidak sah, maka bagaimana status anak yang baru terlahir itu? Bila si orang itu meyakini bahwa pernikahannya itu sah, baik karena taqlid kepada orang yang membolehkannya atau dia tidak mengetahui bahwa pernikahannya itu tidak sah, maka status anak yang terlahir akibat pernikahan itu adalah anaknya dan dinasabkan kepadanya, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ibnu Qudamah tentang pernikahan wanita di masa ?iddahnya di saat mereka tidak mengetahui bahwa pernikahan itu tidak sah atau karena mereka tidak mengetahui bahwa wanita itu sedang dalam masa ?iddahnya, maka anak yang terlahir itu tetap dinisbatkan kepadanya padahal pernikahan di masa. Iddah itu batal dengan ijma para ulama, berarti penetapan nasab hasil pernikahan di atas adalah lebih berhak. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan hal serupa, beliau berkata, “Barangsiapa menggauli wanita dengan keadaan yang dia yakini pernikahan (yang sah), maka nasab (anak) diikutkan kepadanya, dan dengannya berkaitanlah masalah mushaharah (kekerabatan) dengan kesepakatan ulama sesuai yang saya ketahui, meskipun pada hakikatnya pernikahan itu batil di hadapan Allah dan RasulNya, dan begitu juga setiap hubungan badan yang dia yakini tidak haram padahal sebenarnya haram, (maka nasabnya tetap diikutkan kepadanya)” Semoga orang yang keliru menyadari kekeliruannya dan kembali taubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sesungguhnya Dia Maha luas ampunannya dan Maha berat siksanya. (Abu Sulaiman).
C. Hukum Menikahi Wanita Hamil Karena Berzina
Menikahi wanita yang sedang dalam keadaan hamil hukumnya ada dua. Yang pertama, hukumnya haram. Yang kedua, hukumnya boleh. Yang hukumnya haram adalah apabila yang menikahi bukan orang yang menghamili. Wanita itu dihamili oleh A, sedangkan yang menikahinya B. Hukumnya haram sebagaimana sabda Rasulullah SAW: Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dia menuangkan air (maninya) padatanaman orang lain. (HR Abu Daud) Yang dimaksud dengan tanaman orang lain maksudnya haram melakukan persetubuhan dengan wanita yang sudah dihamili orang lain. Baik hamilnya karena zina atau pun karena hubungan suami isteri yang sah. Pendeknya, bila seorang wanita sedang hamil, maka haram untuk disetubuhi oleh laki-laki lain, kecuali laki-laki yang menyetubuhinya.
Dari dalil di atas kita mendapatkan hukum yang kedua, yaitu yang hukumnya boleh. Yaitu wanita hamil karena zina dinikahi oleh pasangan zina yang menghamilinya. Hukumnya boleh dan tidak dilarang. Maka seorang laki-laki menikahi pasangan zinanya yang terlanjur hamil dibolehkan, asalkan yang menyetubuhinya (mengawininya) adalah benar-benardirinya sebagai laki-lakiyang menghamilinya, bukan orang lain.
D. Perbedaan Pendapat Tentang Kebolehan Menikahinya
Memang ada sebagian pendapat yang mengharamkan menikahi wanita yang pernah dizinainya sendiri dengan berdalil kepada ayat Al-Quran Al-Kariem berikut ini: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mu'min. (QS. An-Nur: 3) Namun kalau kita teliti, rupanya yang mengharamkan hanya sebagian kecil saja. Selebihnya, mayoritas para ulama membolehkan.
1. Pendapat Jumhur (mayoritas) ulama Jumhurul fuqaha' (mayoritas ahli fiqih) mengatakan bahwa yang dipahami dari ayat tersebut bukanlah mengharamkan untuk menikahi wanita yang pernah berzina. Bahkan mereka membolehkan menikahi wanita yang pezina sekalipun. Lalu bagaimana dengan lafaz ayat yang zahirnya mengharamkan itu? Para fuqaha memiliki tiga alasan dalam hal ini. Dalam hal ini mereka mengatakan bahwa lafaz 'hurrima' atau diharamkan di dalam ayat itu bukanlah pengharaman namun tanzih (dibenci). Selain itu mereka beralasan bahwa kalaulah memang diharamkan, maka lebih kepada kasus yang khusus saat ayat itu diturunkan. Mereka mengatakan bahwa ayat itu telah dibatalkan ketentuan hukumnya (dinasakh) dengan ayat lainnya yaitu: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui.(QS. An-Nur: 32).
2. Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Al-Khattab radhiyallahu 'anhuma. Mereka membolehkan seseorang untuk menikahi wanita pezina. Dan bahwa seseorang pernah berzina tidaklah mengharamkan dirinya dari menikah secara syah. Pendapat mereka ini dikuatkan dengan hadits berikut:
a. Dari Aisyah ra berkata, "Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda, "Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal."
b. (HR Tabarany dan Daruquthuny). Dan hadits berikut ini: Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, "Isteriku ini seorang yang suka berzina." Beliau menjawab, "Ceraikan dia!." "Tapi aku takut memberatkan diriku." "Kalau begitu mut'ahilah dia."
c. (HR Abu Daud dan An-Nasa'i) Selain itu juga ada hadits berikut ini Dimasa lalu seorang bertanya kepada Ibnu Abbas ra, "Aku melakukan zina dengan seorang wanita, lalu aku diberikan rizki Allah dengan bertaubat. Setelah itu aku ingin menikahinya, namun orang-orang berkata (sambil menyitir ayat Allah), "Seorang pezina tidak menikah kecuali dengan pezina juga atau dengan musyrik'. Lalu Ibnu Abbas berkata, "Ayat itu bukan untuk kasus itu. Nikahilah dia, bila ada dosa maka aku yang menanggungnya."
(HR Ibnu Hibban dan Abu Hatim) Ibnu Umar ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang wanita, bolehkan setelah itu menikahinya? Ibnu Umar menjawab, "Ya, bila keduanya bertaubat dan memperbaiki diri."
3. Pendapat Yang Mengharamkan Sebagian kecil ulama ada yang berpendapat untuk mengharamkan tindakan menikahi wanita yang pernah dizinainya sendiri. Paling tidak tercatat ada Aisyah, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra' dan Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhum ajmain. Mereka mengatakan bahwa seorang laki-laki yang menzinai wanita maka dia diharamkan untuk menikahinya. Begitu juga seorang wanita yang pernah berzina dengan laki-laki lain, maka dia diharamkan untuk dinikahi oleh laki-laki yang baik (bukan pezina). Bahkan Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa bila seorang isteri berzina, maka wajiblah pasangan itu diceraikan. Begitu juga bila yang berzina adalah pihak suami. Tentu saja dalil mereka adalah zahir ayat yang kami sebutkan di atas (aN-Nur: 3).
Selain itu mereka juga berdalil dengan hadits dayyuts, yaitu orang yang tidak punya rasa cemburu bila isterinya serong dan tetap menjadikannya sebagai isteri. Dari Ammar bin Yasir bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak akan masuk surga suami yang dayyuts." (HR Abu Daud) Di antara tokoh di zaman sekarang yang ikut mengharamkan adalah Syeikh Al-Utsaimin rahmahullah.
4. Pendapat Pertengahan Sedangkan pendapat yang pertengahan adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau mengharamkan seseorang menikah dengan wanita yang masih suka berzina dan belum bertaubat. Kalaupun mereka menikah, maka nikahnya tidak syah. Namun bila wanita itu sudah berhenti dari dosanya dan bertaubat, maka tidak ada larangan untuk menikahinya. Dan bila mereka menikah, maka nikahnya syah secara syar'i. Nampaknya pendapat ini agak menengah dan sesuai dengan asas prikemanusiaan. Karena seseorang yang sudah bertaubat berhak untuk bisa hidup normal dan mendapatkan pasangan yang baik.
Lalu, karena penegakan syariah dan hukum hudud hanya bisa dilakukan oleh ulil amri (pemerintah) maka hukum rajam, cambuk, dan yang lain belum bisa dilakukan. Sebagai gantinya, tobat dari zina bisa dengan penyesalan, meninggalkan perbuatan tersebut, dan bertekad untuk tidak mengulangi. Dan hukum pernikahan di antara mereka sudah sah, asalkan telah terpenuhi syarat dan rukunnya. Harus ada ijab qabul yang dilakukan oleh suami dengan ayah kandung si wanita disertai keberadaan 2 orang saksi laki-laki yang akil, baligh, merdeka, dan 'adil. E. Pernikahan Tidak Perlu Diulang Kalau kita mengunakan pendapat mayoritas ulama yang mengatakan pernikahan mereka sah, maka karena akad nikah mereka sudah sah, sebenarnya tidak ada lagi keharusan untuk mengulangi akad nikah setelah bayinya lahir. Karena pada hakikatnya pernikahan mereka sudah sah. Tidak perlu lagi ada pernikahan ulang. Buat apa diulang kalau pernikahan mereka sudah sah. Dan sejak mereka menikah, tentunya mereka telah melakukan hubungan suami isteri secara sah. Hukumnya bukan zina.
3. Penutup
Menurut pendapat Imam Syafi'I, menikah dengan wanita yang hamil dari perzinaan boleh dan sah dengan menetapi persyaratan, yaitu dengan mendatangkan 2 saksi dan wali. Juga disunnahkan mengadakan walimah. Demikian juga menurut Hanafiyah, hanya saja, menurut madzhab ini, sang suami tidak diperbolehkan mengumpuli istrinya hingga ia melahirkan anaknya. Perbedaan madzhab-madzhab ini, jika sang suami bukan lelaki yang berbuat zina kepada wanita tersebut. Apabila sang suami adalah orang yang berbuar zina kepada sang wanita, maka semuanya sepakat memperbolehkan pernikahan tersebut. Baik wanitanya hamil atau tidak. Akan tetapi semua itu tidak mengurangi dosa zina. Ia hanya bisa ditebus dengan penyesalan dan taubat yang sungguh-sungguh. Imam Ahmad mensyaratakan taubat yang sungguh-sungguh bagi diperbolehkannya kawin dengan orang-orang yang berbuat zina.
Adapun masalah status anak, jika anak ini lahir 6 bulan setelah akad nikah, maka si anak sah dinasabkan pada si bapak. Namun jika bayi lahir sebelum bulan keenam setelah pernikahan, maka anak ini tidak bisa langsung dinasabkan pada Bapaknya, kecuali jika si Bapak menyatakan secara tegas bahwa si anak memang benar-benar dari darah dagingnya